Ngobrolin Proses Kreatif Bersama Dea Anugrah di Soft Opening Kafe Pustaka Malang

0

Malang (beritajatim.com) – Kafe Pustaka di Kota Malang menjadi tuan rumah diskusi menarik bertajuk “Ngobrolin Proses Kreatif” bersama penulis, Dea Anugrah. Acara yang dimoderatori oleh Muammar Nur, redaktur Semilir.co ini menjadi sekaligus menjadi soft opening Kafe Pustaka, pada Sabtu (2/11/2024) malam.

Kerja sama antara Pelangi Sastra Malang, Kafe Pustaka, dan Semilir.co menjadikan acara ini sebagai wadah bagi penikmat sastra untuk menggali lebih dalam proses kreatif Dea Anugrah. Dea, sapaannya berbagi pengalaman dan pemikiran yang membentuk karir kesusastraannya.

Dea Anugrah, berbagi tentang proses kreatifnya, dan pentingnya bacaan dalam membangun bank pengetahuan seorang penulis. “Ilmu sastra itu seperti perkakas. Untuk bisa membaca dan memahami karya sastra dengan baik, kita mungkin perlu ‘berbelanja’ perkakas tersebut terlebih dahulu,” ujar Dea.

Sejak kecil, Dea telah menunjukkan minat besar terhadap menulis, meskipun ia tumbuh di lingkungan yang serba terbatas. “Semua bermula saat saya kecil dan melihat bahwa apa yang bisa dilakukan oleh orang kampung adalah hal-hal yang sederhana. Dari situ, keinginan saya untuk menulis mulai tumbuh,” ujar Dea saat diskusi.

Dea dikenal sebagai penulis yang mencakup beragam karya dari puisi, cerpen, hingga esai. Karyanya yang telah terbit, yaitu antologi puisi, Misa Arwah dan Puisi-Puisi Lainnya (2015) dan Kertas Basah (2020), kumpulan cerpen Bakat Menggonggong (2016) yang akan diterbitkan ulang oleh Shira Media tahun ini. Dea juga dikenal melalui novelnya Hari-Hari yang Mencurigakan (2022) serta esai-esainya dalam Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya (2019) dan Kenapa Kita Tidak Berdansa (2021).

“Secara teknis, berbagai proses kreatif itu berbeda, tetapi pada akhirnya semua itu soal pembiasaan dan membangun narasi,” jelas Dea. Ia menekankan pentingnya kemampuan naratif. Karena pada dasarnya naratif itu bisa digunakan dalam berbagai spektrum media. Bagi Dea, dalam karya visual dan audio, elemen utamanya tetap pada kekuatan naratif.

Salah satu pengalaman berharga dalam kariernya terjadi pada 2017 saat Dea menerima beasiswa residensi di Meksiko. Meski awalnya ia memilih Kolombia, keinginannya harus beralih ke Meksiko karena keterbatasan jarak dari KBRI.

Di sana, Dea terkesan dengan mempelajari penulis Amerika Latin seperti Roberto Bolaño. “Ada satu pengalaman tak terlupakan. Seorang penulis bertanya kepada saya, ‘Kamu terkenal di negaramu?’ Itu menyadarkan saya bahwa di sana, penulis yang baru merintis karyanya bisa sangat bagus, dengan bahasa yang kuat dan mendalam,” kata Dea.

Hal ini sempat mengguncang kepercayaan dirinya, mengingat persaingan di dunia sastra global tidak mudah. “Bahasa dan sastra kita sulit bersaing dengan negara-negara yang punya tradisi sastra yang lebih mengakar. Tapi pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan, kalau kita mampunya segini, ya sudahlah,” tambahnya dengan refleksi mendalam.

Dea juga berbicara tentang optimisme dan bagaimana hal itu memengaruhi seorang penulis. “Pikiran yang optimistik itu adalah pikiran yang tidak siap kecewa. Orang yang bunuh diri itu adalah orang yang optimistik,” ujarnya, mengutip pandangan yang menggabungkan refleksi personal dan pemikiran filsafat.

Dia menghubungkannya dengan pemikir-pemikir besar seperti Schopenhauer, dan bagaimana mereka membentuk pemahaman Dea tentang sastra dan eksistensi. “Aku tak pernah merasa bersaing dengan orang lain; aku merasa bersaing dengan diriku sendiri. Yang penting bisa terus menulis, hari ini lebih baik dari kemarin,” ungkap Dea, menunjukkan pandangan hidupnya. (dan/kun)


Link informasi : Sumber

Leave A Reply

Your email address will not be published.