Peneliti Fisipol UGM Paparkan Riset Tentang Inklusi Sosial di Tiga Provinsi
Yogyakarta (beritajatim.com)– Sejumlah peneliti dan asisten peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan paparan hasil riset yang telah dilakukan selama beberapa waktu.
Dari berbagai paparan riset salah satu yang menarik adalah riset kaitan inklusi sosial yang dilakukan di 3 provinsi yakni Provinsi Yogyakarta, Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan.
Asisten Peneliti, Dhania Salsha Handiani dan Nindias Nur Khalika memaparkan bahwa riset dilakukan selama satu ke belakang. Adapun proyek penelitian ini bekerjasama dengan Bappenas dan Pemerintah Australia. Riset yang disajikan adalah riset mengenai inklusi sosial.
Pihaknya mengulas kaitan Gender Equality Disability and Social Inclusion (GEDSI) dengan melakukan memetakan siapa yang terlibat dalam inklusi ini dan apa saja serta bagaimana penanganannya.
“Dari hasil penelitian diolah menjadi laporan kemudian akan dipresentasikan Kembali hasil riset ini kepada rekan rekan mitra, masyarakat, akademmisi, perwakilan pemerintah dan stakeholder terkait sebagai kegiatan advokasi,” bebernya.
Dalam presentasi mereka sepakat bahwa penanganan dan kebijakan pemerintah akan kaitan inklusi sosial ini berbeda-beda.
Maka dari itu hasil masih perlu terus dilakukan telaah dan pembaharuan.
Mereka kemudian mengambil sampel penanganan inklusi kaitan disabilitas di Yogyakarta ini lebih baik dari daerah lain. Namun masih banyak isu lain yang belum ditangani, misalnya larangan kepemilikan tanah etnis Tionghoa, penggusuran orang di situasi jalanan, dan sebagainya.
“Atau misalnya di DIY ini fasilitas umum (fasum) sudah dianggap ramah disabilitas. Meski demikian masih tetap harus dioptimalkan,” jelas mereka kemarin.
Lain halnya di Provinsi Aceh. Perempuan dengan pengalaman konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) RI isunya hingga saat ini belum mendapatkan bantuan yang sebenarya mereka butuhkan.
“Perempuan dengan pengalaman GAM RI sebenarnya mereka membutuhkan bantuan berupa psikosisial namun merek tidak dilibatkan dalam proses memilih. Bahkan mereka hanya diberi kain baju tertentu yang sebenarnya mereka tidak butuh itu. Mereka butuh pendampingan psikososial dan pelibatan proses perundingan dari awal,” ujarnya.
Kemudian di Makassar problemnya yakni para nelayan perempuan yang tidak diakui selayakya nelayan laki-laki. Dalam kondisi krisis iklim dan kemiskinan para nelayan perempuan tidak bisa mendapatkan bantuan karena mereka tidak memiliki katu tanda nelayan.
“Dengan kartu tanda nelayan mereka jadi mudah mengakses bantuan sementara nelayan perempuan tidak mendapatkan. Padahal nelayan perempuan banyak pula yang single parent dan harus menghidupi anak tanpa suami
Selanjutnya di Maros Sulawesi Selatan, merupakan konflik inklusi paling keras. Masyarakat adat di Kawasan ini belum diakui sebagai warga negara dan tidak punya kepemilikan atas tanah sendiri. Selain itu di Maros Sulawesi Selatan juga tidak adanya layanan dasar yang memadai. [aje]
Link informasi : Sumber