Ketika Literasi Digital Terancam AI?

0

Surabaya (beritajatim.com) – “The AI genie is out of the bottle,” said Cynthia Breazeal, a professor of media arts and sciences at the Massachusetts Institute of Technology. “It’s not just in the realm of computer science and coding. It is affecting all aspects of society. It’s the machine under everything. It’s critical for all students to have AI literacy if they are going to be using computers, or really, almost any type of technology” in their daily lives.

Di dunia yang penuh dengan AI-driven tools, mereka yang tidak memiliki literasi digital yang memadai berisiko tertinggal. AI kini mengubah cara kita belajar, bekerja, dan berinteraksi, membuat digital skills menjadi keterampilan yang tidak dapat diabaikan – A. A Akbar dalam Panduan Literasi Digital Di Era AI: Keterampilan Esensial 2024.

Sudah layakkah kita menghakimi artificial intelligence (AI) adalah entitas yang akan mengancam manusia? Saya pikir belum! Atau setidak-tidaknya ketakutan Nick Bostrom dalam Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (2014) ketika kecerdasan buatan menjadi atau bahkan melampaui manusia belum terjadi saat ini. AI menurut Prof Rofiuddin, dalam sebuah mata kuliah, hanyalah sebuah tools, ia perangkat yang berperan membantu manusia. Sebagai pembantu, tentu semua tetap berfokus pada manusia, alih-alih alat buatan manusia.

Ketika Cynthia Breazeal dari MIT menyebut AI sebagai “the machine under everything,” ia mengingatkan bahwa teknologi ini telah merasuk ke setiap aspek kehidupan kita. Namun, pertanyaan yang lebih mendalam adalah: apakah AI ini benar-benar mengancam? Dalam praktiknya, ancaman AI sering kali lahir bukan dari AI itu sendiri, melainkan dari penggunaannya yang kurang bijaksana.

Contohnya, penyebaran disinformasi yang diperparah oleh algoritma AI dapat menciptakan ketidakpercayaan sosial. Namun, di sisi lain, AI juga menjadi alat yang untuk memberdayakan manusia, seperti membantu petani dengan prediksi cuaca yang akurat sehingga membantu dalam pengelolaan hasil panen atau mendukung dokter dalam mendiagnosis penyakit.

Untuk menghadapi tantangan AI, langkah utama adalah memperkuat pendidikan literasi digital. Negara-negara seperti Finlandia telah memasukkan literasi digital dan AI dalam kurikulum sekolah mereka. Mereka menekankan pendekatan berbasis kolaborasi manusia-mesin, di mana siswa belajar memahami kekuatan AI sambil tetap mempertahankan pemikiran kritis mereka.

Literasi digital saat ini , seperti pada judul mungkin memang terancam dengan AI, tapi hanya sebatas ancaman belaka, justru literasi digital adalah jalan agar manusia tidak dikendalikan kecerdasan buatan.

Mengutip Prof Stella Christie, dalam sebuah pernyataan bahwa “kalau kita menulis pakai ChatGPT lama-lama kita tidak akan punya rasa untuk tahu mana tulisan yang bagus dan mana tulisan yang tidak bagus”. AI itu kita manfaatkan saja untuk membantu bukan sepenuhnya menyerahkan pada AI, sebab dengan begitu kita telah menggadaikan sisi humanitas dan kemampuan berpikir kritis kita.

Literasi digital mencakup literasi teknologi dan literasi informasi, yakni kemampuan untuk menggunakan teknologi digital dan memahami informasi dengan bijak. Dengan kata lain, literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengelola informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dalam dunia digital.

Kemampuan literasi digital penting untuk dimiliki setiap individu, tak terkecuali mahasiswa yang sedang dalam proses untuk dapat menciptakan pola pikir kritis. Dalam literasi digital kita dituntut untuk meramu dan menemu informasi akurat dan relevan berkaitan dengan suatu masalah atau problem yang sedang kita cari jalan keluarnya.

Saat mengetikkan dan mencari tugas kuliah melalui Google, ketika kita meminta bantuan AI untuk mengerjakan tugas, saat mencari informasi tentang berita terkini di bidang pertanian, atau saat mencari tentang informasi terupdate kondisi Indonesia saat ini, semua itu adalah bentuk kita menghimpun informasi.

Proses setelah, untuk menyaring dan memvalidasi informasi itu berkaitan dengan kemampuan literasi kita dalam berselancar di ruang digital, jika kita tidak cerdas maka informasi yang diperoleh tidaklah sesuai, sementara itu ketika kita mampu menyiasati maka informasi yang kita peroleh akan sesuai juga relevan.

Seperti yang dikatakan Andrew Ng, AI tidak akan menggantikan manusia, tetapi orang yang tidak bisa memanfaatkannya akan tergantikan. Oleh karena itu, manusia harus fokus pada dua hal: Pertama, mengembangkan kecerdasan emosional (emotional intelligence): Aspek yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Kedua, meningkatkan adaptabilitas: Kemampuan untuk terus belajar dan berkembang sesuai dengan perubahan teknologi.

Sebagai contoh, dalam industri kreatif, AI seperti ChatGPT dan DALL-E dapat membantu menciptakan ide-ide awal, tetapi sentuhan akhir tetap membutuhkan sensibilitas manusia. Di sini, perpaduan antara kemampuan teknis dan intuisi manusia menjadi nilai tambah yang sulit disaingi.

Mempersiapkan Literasi Digital
Dalam mempersiapkan literasi digital kita perlu melihat AI sebagai kawan manusia, bukan sebaliknya menyerahkan sepenuh berbagai keperluan terhadap AI. Sisi human kita tetap berperan penuh dalam AI, berbagai studi tentang AI misalnya salah satunya yang dilakukan oleh Siyi Cao, Yizhong Xu, Tongquan Zhou1, Siruo Zhou dalam tulisannya berjudul ‘Is ChatGPT like a nine-year-old child in theory of mind? Evidence from Chinese writing’ menyebut bahwa AI itu seperti seorang anak kecil yang berusia 9 tahun. Ia akan menyerap berbagai informasi kemudian mengolahnya kembali menjadi informasi baru.

Seperti anak 9 tahun, AI terkadang tidak mampu secara penuh menyerap informasi yang ada sehingga output yang dihasilkan, AI chatbot seperti ChatGPT terkadang tidak lancar dalam aspek kohesi, dan ekspresi emotif. Kita bisa melihat dengan studi tersebut bahwa AI hanya unggul dalam aspek kognitif (pengetahuan), ia tidak memiliki aspek konatif dan afektif selayaknya manusia.

Oleh sebab itu, ketika kita meminta AI untuk membuat tulisan kreatif, atau ketika kita meminta AI untuk melihat tren terkini tentang suatu disiplin ilmu pengetahuan ia hanya akan menyajikan pengetahuan saja tanpa mempertimbangkan aspek afektif (emosional) dan konatif (kecenderungan cara bertindak) sehingga akurasi dalam menyajikan permasalahan yang teknis dalam AI masih layak dipertanyakan.

Mengacu terhadap pandangan tersebut maka kita perlu membekali diri kita sendiri dengan memiliki kemampuan literasi digital, kemampuan yang dapat menghasilkan informasi secara bijak dengan unsur kemanusiaan kita. Literasi digital menurut Steve Wheeler dalam bukunya Digital Literacies for Engagement in Emerging Online Cultures (2012) memiliki 9 komponen penting, yaitu:

Pertama, Social Networking: Kemampuan memahami dan memanfaatkan berbagai media sosial. AI mungkin bisa kita minta untuk membuat sosial media, mengisi bio di media sosial, tetapi AI tidak dapat memilah dan memanfaatkan media sosial secara bijak oleh sebab itu dibutuhkan kemampuan kita untuk melakukan social networking.

Kedua, Transliteracy: Kemampuan berkomunikasi melalui berbagai platform dan layanan online. Kemampuan ini perlu kita latih karena komunikasi yang terjadi dalam penggunaan AI adalah komunikasi yang sangat kaku dan terlihat bahwa itu mesin oleh sebab itu saat kita membuka sejumlah situs seringkali muncul Captcha (recaptcha) untuk mengonfirmasi bahwa yang membuka itu adalah manusia bukan sebuah kecerdasan buatan.

Ketiga, Maintaining Privacy: Kesadaran akan privasi online dan perlindungan dari kejahatan siber. Belakangan ini kita dihebohkan dengan Bjorka yang dapat melakukan pembobolan pada sejumlah situs, AI sejatinya dapat dilatih untuk melakukan pembobolan, bahkan serangan bot pada sejumlah situs terdapuk dilakukan oleh AI. Dalam hal ini sisi manusia kembali dibutuhkan untuk menciptakan perlindungan terhadap kejahatan siber, sekurang-kurangnya dengan membuat kata sandi bertingkat yang tidak mudah diretas dengan matematika AI.

Keempat, Managing Digital Identity: Penggunaan identitas digital yang tepat pada berbagai platform. Identitas menjadi sebuah personal branding agar saat dicari identitas kita dapat diketahui, dalam mengolahnya mungkin kita dapat memanfaatkan AI tetapi AI tidak akan sepenuhnya mengenal diri kita kecuali kita menyajikan informasi.

Kelima, Creating Content: Kemampuan membuat konten digital, seperti blog atau video. Wondershare Filmora untuk pembuatan video, DALL-E 2 untuk membuat gambar, AI Chatbots seperti ChatGPT, Canva AI untuk mendesain, dan segala macamnya tetap membutuhkan unsur campur dari tangan manusia. Sebut saja Chat GPT , chatbots ini hanya memiliki rentan input sampai Oktober 2023 sehingga saat kita minta untuk membuat informasi terupdate ia masih sedikit mengalami keterbatasan. Selain itu, coba dilihat secara seksama gambar – gambar yang diciptakan oleh Canva AI tidak akan seakurat hasil fotografi dari manusia.

Keenam, Organising and Sharing Content: Mengelola dan menyebarkan informasi dengan efisien. Ini murni harus mengandalkan campur tangan manusia, karena AI memiliki keterbatasan dalam proses penyebaran informasi, saya rasa jika tidak diberi input informasi AI bahkan mungkin tidak dapat membedakan antara informasi yang benar, hoax, miss informasi, dan dis informasi.

Ketujuh, Reusing/Repurposing Content: Menggunakan kembali atau mengolah ulang konten yang ada. Contoh dari reusing misalnya, webinar yang direkam kemudian diunggah ulang ke YouTube tanpa perubahan, sementara repurposing contohnya adalah video wawancara dipecah menjadi klip pendek untuk TikTok atau Instagram Reels. Dalam kasus ini, manusia dalam melakukan reusing/repurposing content, terutama dalam konteks kreativitas, kepekaan budaya, dan memahami emosi audiens akan lebih efektif daripada AI.

Kedelapan, Filtering and Selecting Content: Kemampuan mencari dan menyaring informasi yang relevan. Dalam konteks ini, literasi digital manusia sering kali lebih unggul dibandingkan AI, terutama karena manusia memiliki keahlian kognitif dan etis yang tidak dapat direplikasi sepenuhnya oleh mesin. Manusia memiliki kemampuan memahami konteks secara holistik, termasuk latar belakang sosial, budaya, dan emosi yang melingkupi konten tertentu. AI hanya mampu bekerja berdasarkan pola data dan algoritma yang telah diprogram.

Kesembilan, Self Broadcasting: Berbagi ide dan konten melalui berbagai platform online. Begitupun dengan kemampuan terakhir ini, dalam mengolah konten terutama dalam menyajikan konten menarik dengan bahasa yang mudah dipahami sulit bagi AI jika diminta secara langsung, bahkan terkadang ada informasi yang tidak disajikan secara tepat dan akurat. Manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan ide-ide baru yang tidak terbatas pada pola data masa lalu, sedangkan AI hanya dapat menghasilkan konten berbasis data atau pelatihan yang sudah ada. karena manusia memiliki kemampuan alami untuk menciptakan hubungan emosional, kreativitas orisinal, dan fleksibilitas dalam menyesuaikan konten dengan audiens yang beragam.

Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi digital yang mumpuni apabila ia memahami kesembilan komponen di atas. Berbekal kemampuan ini, individu yang punya kemampuan literasi digital tidak hanya mampu memperoleh manfaat tetapi juga menghindari sisi buruk dunia digital.

Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat dari Nick Bostrom dari Oxford menyatakan bahwa kita mungkin kehilangan kendali atas sistem AI lebih cepat dari yang kita kira. Ketakutan itu bukan hanya omong kosong belaka dan sangat dimungkinkan terjadi jika kita tidak memiliki kecakapan literasi digital yang mumpuni. Seperti kata Perintis Google Brain, Andrew Ng AI itu tidak akan menggantikan manusia, tetapi orang yang tidak bisa memanfaatkan AI akan tergantikan. (dan/kun)


Link informasi : Sumber

Leave A Reply

Your email address will not be published.