Marak Mahasiswa Bundir, Psikolog UINSA Surabaya Singgung Spiritualitas
Surabaya (beritajatim.com) – Belakangan ini kabar mahasiswa tewas akibat bunuh diri santer terdengar. Di Surabaya, dalam kurun sebulan saja sudah ada dua kasus, yakni dari mahasiswa Universitas Ciputra dan UK Petra.
Pada Rabu, 18 September 2024 lalu, mahasiswa Universitas Ciputra Surabaya berinisial SN (20) ditemukan tewas usai melompat dari lantai 22 gedung kampus. Aksi nekatnya itu disinyalir gara-gara hubungan asmara.
Sementara pada Selasa, 1 Oktober 2024 kemarin, mahasiswa Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya, inisial RD juga ditemukan tak bernyawa usai melompat dari lantai 12 gedung kampus setempat.
Dari dua kejadian tersebut, ada sedikit kesamaan, yakni korban merupakan seorang mahasiswa. Tentu hal ini bukan sebuah kebetulan. Ada faktor yang mempengaruhi keputusan mereka untuk melakukan bunuh diri tersebut.
Psikolog Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Dr Mierrina MSi mengatakan bahwa keputusan untuk melakukan aksi bunuh diri merupakan suatu keputusan yang dangkal.
Mierrina menjelaskan, aksi bunuh diri terjadi karena korban merasa loneliness (kesepian) maupun self helplesness (ketidakmampuan diri). Sehingga, mereka berpikir bahwa satu-satunya cara adalah ‘menghilang’.
“Itu istilah anak muda yang punya kecenderungan atau keinginan suicide atau bunuh diri. Mereka merasa tidak ada yang mempedulikan dan tidak ada yang membantu,” jelas Mierrina kepada beritajatim.com, Rabu (2/10/2024).
Mierrina mengungkapkan, terdapat faktor internal maupun eksternal yang memicu tindakan bunuh diri, di mana hal ini juga terkait dengan faktor spiritualitas.
Adapun faktor internal, biasanya terkait karakteristik kepribadian maupun paradigma berpikir. Karakteristik kepribadian itu salah satunya kecenderungan introvert. Dalam hal ini, korban cenderung sulit membuka diri.
“Jadi, dia memiliki paradigma berpikir bahwa masalahku adalah masalahku, orang lain tidak boleh tahu apa yang aku rasakan, persoalanku adalah rahasia bagiku, orang lain tidak pernah tahu sekali pun itu adalah orang-orang terdekatku,” beber Mierrina.
Sedangkan faktor eksternal, kata Mierrina, terkait dengan luka batin yang dialami sejak kecil. Misalnya, pengalaman menyakitkan dari orang terdekat yang disimpan hingga menumpuk dalam diri, dan tidak pernah terselesaikan.
“Biasanya indikasi awal yang dilakukan adalah melakukan self-harm yang bentuknya macam-macam, kemudian mengarah pada pikiran untuk bunuh diri, dan sampai pada melakukan tindakan bunuh diri itu,” terangnya.
Koordinator Pusat Konseling LPM-UINSA itu menambahkan bahwa ada sejumlah faktor eksternal lain yang mempengaruhi kesehatan mental anak, salah satu yang signifikan adalah tentang pola asuh.
Menurutnya, kurangnya penguatan spiritualitas dalam keluarga dapat berdampak pada perkembangan individu. “Mungkin dia tidak pernah ditekankan tentang keberadaan dan kekuatan Allah yang Maha Besar,” tuturnya.
Selain itu, pola asuh yang minim keterikatan antara orang tua dan anak juga menjadi pemicu. Sebab, ketika orang tua tidak sepenuhnya memahami atau mendengarkan anak, ini dapat menghambat kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Akibatnya, anak bisa saja merasa tertekan dan tidak memiliki keberanian untuk berbagi emosi, terutama emosi negatif. “Ini membuat anak tidak berani mengekspresikan hal yang dia rasakan selama ini, yang di dalamnya termasuk emosi-emosi negatif,” katanya.
Mierrina mengatakan bahwa kondisi ini menunjukkan pentingnya perhatian dan pengertian orang tua dalam mendukung perkembangan emosional anak. Sehingga, tindakan negatif seperti bunuh diri tidak akan terjadi. [ipl/ian]
Link informasi : Sumber