UGM Ungkap Peluang dan Tantangan
Yogyakarta (beritajatim.com)- Krisis iklim merupakan ancaman global yang dihadapi seluruh negara, termasuk Indonesia. Fenomena seperti kegagalan panen, kekeringan, dan kenaikan suhu bumi disebabkan oleh aktivitas manusia yang terus menerus menghasilkan karbon.
Meski pemerintah telah merancang berbagai kebijakan untuk mengatasi krisis ini, sebagian masyarakat Indonesia masih meremehkan urgensi isu krisis iklim. Bahkan, ada kelompok yang mempercayai teori konspirasi terkait penyebab krisis iklim.
Menurut Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Kurnia, M.Si., M.A., Ph.D., riset Center for Digital Society (CfDS) mengungkapkan bahwa 24,2% masyarakat percaya bahwa krisis iklim adalah hasil rekayasa elit global. Kelompok ini disebut sebagai “climate change denier” atau penolak keberadaan krisis iklim.
Dampak Misinformasi pada Penanganan Krisis Iklim
Novi mengkhawatirkan bahwa minimnya perhatian masyarakat terhadap krisis iklim, ditambah dengan kemunculan kelompok penentang, dapat menghambat kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, strategi penanganan misinformasi terkait krisis iklim harus segera diimplementasikan.
Riset CfDS menunjukkan bahwa 98% misinformasi terkait krisis iklim berasal dari media sosial, dengan 57,7% di antaranya berupa “false connection” atau kesalahan informasi. Meski banyak responden yang mampu mengenali misinformasi, hanya 20% yang bisa memberikan sanggahan.
Novi menegaskan, “Indonesia memiliki populasi tinggi yang menjadi penyebar misinformasi krisis iklim. Ini harus segera diatasi sebelum pertumbuhannya semakin besar.”
Peran AI dalam Memerangi Misinformasi Krisis Iklim
Dalam diskusi bertema “Pathways to Sustainable Futures: Navigating Digital and Greening Transition”, Novi memaparkan bahwa kecerdasan buatan (AI) memiliki peran penting dalam melawan hoaks terkait krisis iklim. Saat ini, beberapa organisasi anti-hoaks seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah menggunakan AI untuk memfilter konten hoaks.
Google juga memanfaatkan teknologi AI untuk mendeteksi dan menyanggah artikel yang diidentifikasi sebagai misinformasi.
Namun, AI belum sepenuhnya sempurna. “Akurasi AI dalam fact-checking masih berkisar antara 30-90%, terutama karena sulitnya AI memahami konteks. Ada risiko informasi yang benar malah dianggap sebagai hoaks,” ujar Novi.
Tantangan Pengembangan AI Berbasis Bahasa Indonesia
Salah satu tantangan utama dalam penggunaan AI di Indonesia adalah kurangnya sistem berbasis Bahasa Indonesia. Novi menekankan perlunya pengembangan AI yang mampu memahami bahasa lokal dan istilah-istilah yang umum digunakan masyarakat.
Selain itu, isu etika terkait kebebasan berekspresi juga menjadi tantangan dalam penggunaan AI untuk memberantas misinformasi.
Novi menambahkan bahwa pengembangan AI harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat dengan mengutamakan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Jika tidak, AI justru bisa berpotensi memproduksi misinformasi baru.
Kolaborasi Antar Sektor untuk Menghadapi Hoaks Krisis Iklim
Untuk memaksimalkan potensi AI dalam melawan hoaks, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan organisasi non-pemerintah (NGO) sangat penting.
Hasil pertemuan di UNESCO Digital Learning Week 2024 yang dihadiri oleh 300-400 pemangku kebijakan dari 50 negara, termasuk Indonesia, menegaskan perlunya sinergi dalam menghadapi krisis iklim dengan memanfaatkan teknologi digital seperti AI. [aje]
Link informasi : Sumber