Amartha Beri Penghargaan Perajin Kain Tenun Satu-satunya di Banyuwangi
Banyuwangi (beritajatim.com) – Siami, usianya kini menginjak 74 tahun. Tanpa disadari, di usia senjanya justru banyak mata yang melirik padanya.
Bukan, hanya karena parasnya yang mulai menua, tetapi justru lantaran hasil karyanya yang mempesona. Ya, Siami adalah satu-satunya perajin tenun tradisional asal Desa Jambesari, Kecamatan Giri. Bahkan, dia mungkin satu-satunya di Bumi Blambangan, Banyuwangi ini.
Kemarin, Jumat (8/11/2024) PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) salah satu perusahaan yang terpikat oleh pesona Mbah Siami. Bahkan, mereka datang langsung ke kediamannya untuk memberikan penghargaan sebagai local hero kepada wanita dua anak tersebut.
Selama ini, Amartha konsisten memberikan pendampingan bagi pelaku ekonomi akar rumput, terutama UMKM yang dijalankan oleh kaum perempuan. Perusahaan pembiayaan berbasis teknologi ini terus mendorong usaha mikro melalui pembiayaan produktif.
“Jadi di kami itu ada local hero, jadi kami memberikan penghargaan kepada ibu-ibu yang mampu memberikan inovasi dampak perubahan. Jadi kita ingin semua memiliki inovasi atau ide kreatif untuk memberikan dampak perubahan di lingkungan sekitar,” ungkap Head of Micro Business Amartha area Jawa Timur, Abdul Munim Zainul.
Sementara itu, Siami hingga kini masih rajin meneruskan warisan tenun tradisional dari orang tuanya itu. Mendapat penghargaan baginya menambah semangat untuk terus melestarikan peninggalan generasi terdahulu
“Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak-bapak atas penghargaan ini,” ucapnya dalam bahasa Osing, bahasa khas Banyuwangi.
Dalam penghargaan itu, Siami juga mendapatkan sejumlah uang untuk pengembangan usaha. Benar saja, uang tersebut menjadi tambahan modal untuk kerajinan tenun yang tengah digelutinya.
“Alhamdulillah, kemarin juga dapat uang. Terima kasih bisa untuk belanja bahan baku benang. Semoga berkah dan lancar usahanya, kami juga semakin berkembang,” ungkap Ariyani anak bungsu Siami.
Sekilas kisah Siami
Siami adalah salah seorang dan satu-satunya penenun legendaris asal Desa Jambesari, Kecamatan Giri, Banyuwangi.
Secara Usia mungkin tidak muda lagi, karena kini menginjak 74 tahun. Namun, kegigihannya tak diragukan lagi demi meneruskan warisan tenun tradisional keluarga.
Tak dipungkiri, semangat itu mengalir dari titah sang ibu yang lebih dulu menjadi perajin kain tenun. Berawal dari hasil pengamatan, belajar tekun hingga tercipta kain tenun secara turun temurun.
Siami mengaku tak pernah belajar langsung dari ibunya. Tapi, niatnya untuk melanjutkan itu dimulainya sejak puluhan dekade silam.
“Dulu saya belajar tidak boleh, karena alatnya cuma satu dan kain yang dibuat itu pesanan. Jadi ya cuma bisa melihat saat emak nenun. Namun yang melanjutkan hingga saat ini tinggal saya. Saya mulai menenun sejak sekitar tahun 1960-an,” kata Siami.
Saat aktivitas, gerakannya masih cekatan. Meskipun Siami sudah tak muda lagi.
Ibu dua anak ini, menenun dengan alat serta cara tradisional dan sederhana. Ia memakai alat penenun pangku yang terbuat dari kayu.
“Semua alat yang saya pakai adalah peninggalan ibu saya dulu. Masih saya rawat sampai saat ini,” ucapnya.
Setiap pagi, Siami mulai menenun sekitar pukul 08.00 WIB. Ia ulet memainkan tangan dengan alat tenun dan benang-benang sutera hingga sore hari.
“Biasanya istirahat saat dhuhur. Lalu lanjut lagi sampai sore. Malamnya memintal benang sampai larut,” ungkapnya.
Seperti yang terlihat, dia sedang menenun kain pesanan dari seorang warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, salah satu tempat tinggal warga Osing, suku asli Banyuwangi.
Saat ini, kain tenun yang diciptakannya berukuran 300 cm x 60 cm. Kain itu terbuat sepenuhnya dari benang sutera. Karena proses pengerjaannya sepenuhnya manual, butuh waktu sekitar sebulan untuk membuat satu lembar kain tenun.
Bahkan, mayoritas kain tenun tua yang dimiliki warga Desa Kemiren adalah buatan warga Desa Jambewangi.
Kondisi ini, berbanding lurus dengan tradisi warga setempat. Tradisi itu yakni menyediakan kain tenun berkualitas dalam beberapa kesempatan acara budaya.
Kain tenun buatan Siami ukurannya tak terlalu besar. Tapi, penuh makna karena ada semangat sang ibu yang selalu diembannya.
“Ini untuk gendongan. Atau biasa juga dipakai seserahan di acara pernikahan,” katanya.
Siami menciptakan kain gendongan terdiri dari lima motif. Di antaranya, Keluwung, Solok, Boto, Lumut, dan Gedokan. Harga kain tenun buatan Siami dibanderol Rp 4 – 5 juta perlembar.
“Bisa juga kalau mau bawa benang sendiri. Kalau benangnya dari pemesan, harganya Rp 2 juta. Yang lama dari memuat kain tenun itu menata tiap benang di alat tenun ini. Butuh beberapa hari. Memang harus telaten,” ucapnya.
Kini, penerus kerajinan tradisional ini menurun ke anak bungsunya. Ariyani anak Siami pun mulai belajar dan menggeluti aktivitas sang nenek dan ibunya itu.
“Sudah bisa mintal, kalau nenun nya udah bisa. Yang belum bisa itu merangkai membuat motifnya itu. Apalagi sekarang alatnya cuma satu, jadi gak bisa belajar sendiri. Menunggu alat, ternyata bikinnya sulit. Tapi masih diusahakan alatnya,” katanya.
Dirinya juga bertekad meneruskan warisan budaya keluarga dan daerahnya itu. Karena, kini tinggal ibunya saja yang masih bertahan untuk membuat kain tenun.
“Mau gak mau, ke depan saya harus belajar. Satu memang meneruskan warisan, kedua, tenun ini juga cukup memberikan peluang ekonomi bagi keluarga,” pungkasnya. [rin/beq]
Link informasi : Sumber