Begini Korelasi Konsep Pierre Bourdieau dengan Persaingan Kotak Kosong di Pilkada Jatim 2024

0

Yogyakarta (beritajatim.com)– Fenomena bersaing dengan kotak kosong saat pemilihan Kepala Daerah alias Pilkada di beberapa wilayah Kawasan Jawa Timur (Jatim) nampaknya bakal dilakukan.

Hal ini lantaran di beberapa daerah paslon yang maju sama sekali tidak memiliki pesaing. Sebut saja Pilkada Surabaya, Calon Walikota Surabaya Eri Cahyadi bersama wakilnya Armuji diusung hampir oleh semua partai politik (parpol). Begitu juga dengan daerah lain sebut saja Pilkada Gresik, Pasuruan, Trenggalek dan Ngawi ternyata hingga saat ini hanya memiliki calon tunggal saja.

Atas fenomena calon tunggal dan bersaing dengan kotak kosong, pakar komunikasi politik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta ,Assoc Prof Dr Edwi Arief Sosiawan, SIP, M.Si, CIIQA, CIAR, CPM (Asia) kepada beritajatim.com menuturkan fenomena ini sesuai dengan konsep Pierre Bourdieu.

Konsep ini, imbuhnya menawarkan konsep-konsep yang relevan untuk memahami fenomena ini. Ia memperkenalkan konsep habitus, modal, dan field atau arena, yang dapat digunakan untuk menganalisis struktur politik dalam konteks pilkada dengan calon tunggal.

Habitus adalah cara berpikir, merasakan, dan bertindak yang terbentuk melalui pengalaman sosial serta posisi individu dalam masyarakat. Habitus politik masyarakat, terutama pemilih, dalam situasi pemilihan yang melawan kotak kosong, dapat dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang berkembang, keberadaan calon tunggal dianggap sebagai sesuatu yang “normal” dalam sistem politik lokal.

Modal yang dimaksud oleh Bourdieu bisa berupa modal ekonomi (uang), modal sosial (jaringan dan relasi), modal budaya (pendidikan dan pengetahuan), serta modal simbolik (penghargaan dan status).

Calon tunggal dalam pilkada biasanya memiliki dominasi kuat dalam semua bentuk modal tersebut, sehingga hampir tidak mungkin ditandingi oleh calon potensial lainnya. Ketidakseimbangan modal ini menciptakan situasi calon lain enggan atau bahkan tidak mampu bersaing. Ketidakseimbangan modal ini turut berkontribusi terhadap munculnya kotak kosong sebagai satu-satunya lawan.

Selain itu, Bourdieu melihat politik sebagai sebuah arena atau medan (field) para aktor politik berjuang untuk mendapatkan sumber daya demi memperoleh pengaruh dan legitimasi. Dalam kasus calon tunggal yang berhadapan dengan kotak kosong, arena politik menjadi tumpul karena tidak ada kompetisi nyata yang mendorong pertarungan ide atau kebijakan.

“Alih-alih menjadi kompetisi yang dinamis dan terbuka, politik lokal dimonopoli oleh satu aktor yang memiliki modal lebih besar dibandingkan lawannya yang bersifat simbolik, yaitu kotak kosong,” beber dosen Magister Ilmu Komunikasi FKK UPNVY ini.

Meskipun kotak kosong mungkin terlihat sebagai ketiadaan pilihan, dalam konteks komunikasi politik, kotak kosong dapat dipandang sebagai simbol resistensi pasif terhadap dominasi politik tertentu.

Masih menurut Konsep Bourdeai menyatakan bahwa individu yang berada dalam posisi subordinat dalam sebuah arena dapat menunjukkan bentuk perlawanan simbolik terhadap kekuasaan. Dalam konteks ini, memilih kotak kosong bisa dilihat sebagai bentuk protes terhadap monopoli politik yang ada, meskipun dalam wujud yang pasif dan kurang efektif dalam mengubah dinamika kekuasaan secara langsung.

Namun, resistensi semacam ini hanya akan memiliki substansi nyata jika diikuti dengan refleksi diri dan perbaikan dalam sistem politik itu sendiri.

“Jika tidak, pilkada melawan kotak kosong hanya akan menjadi simbol stagnasi demokrasi local dengan pemilih pada akhirnya akan merasa apatis karena pilihan yang terbatas,” tegasnya. [aje]


Link informasi : Sumber

Leave A Reply

Your email address will not be published.