Prof. Dr. Ichlasul Amal, Sang Begawan UGM dari Jember
Surabaya (beritajatim.com) – Prof. Dr. Ichlasul Amal, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu telah berpulang pada Kamis (14/11/2024). Ia meninggal di usia 82 tahun, setelah berjuang melawan sakit.
Meninggalnya Amal merupakan kehilangan besar bagi bangsa. Perannya begitu besar, tidak hanya pada pendidikan melainkan juga demokrasi di negeri ini.
Amal adalah putra Jember yang lahir pada 1 Agustus 1942. Orangtuanya berprofesi sebagai pedagang. Sejak kecil, Amal akrab dengan dunia pesantren. Tetapi, dia juga menempuh jalur pendidikan formal mulai dari Sekolah Rakyat, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jember.
Lulus SMA, Amal memilih melanjutkan studi di Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta memperoleh gelar Sarjana pada 1967. Setelah lulus, Amal langsung diterima mengajar di almamaternya.
Amal melanjutkan pendidikannya di Northern Illionis University, Amerika Serikat. Dia meraih gelar Magister Ilmu Politik pada 1974.
Setelah itu, Amal kembali menimba ilmu di Monash University di Melbourne, Australia. Dia meraih gelar Doktor Ilmu Politik pada 1984 dengan disertasi yang membahas soal keterkaitan antara pemerintah pusat dan daerah.
Jejak Karier
Sejak lulus dari program Sarjana, Amal mengabdi sebagai dosen HI Fisipol UGM mulai 1967. Selama mengajar, Amal dikenal sebagai dosen yang ‘sangar’ berkat cara mengajarnya yang tegas dan disiplin.
Amal kemudian dipercaya sebagai Direktur Pusat Antar Universitas (PAU) Studi Sosial UGM. Jabatan itu dia ampu pada 1986 hingga 1988. Setelah itu, dia diangkat menjadi Dekan FISIPOL UGM dan menjabat pada 1988 hingga 1994.
Pasca menjadi dekan, Amal mendapat amanah sebagai Direktur Program Pascasarjana UGM. Dia menjabat mulai 1994-1998. Selesai menjabat, Amal terpilih menjadi Rektor UGM dan menjabat pada 1998 hingga 2002, sebelum digantikan oleh Prof. Dr. Sofyan Effendy, sejawatnya di FISIPOL.
Amal tak hanya pernah mengampu jabatan mentereng di Kampus Biru. Dia juga tercatat sebagai Ketua Dewan Pers pada 2003-2010.
Sosok Rendah Hati
Meski dikenal ‘sangar’, Amal merupakan sosok yang rendah hati. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah satu alumni Fakultas Filsafat UGM, Qusthan Abqary, kepada beritajatim.com
Saat mahasiswa, Qusthan yang juga pegiat pers kampus berkesempatan melakukan wawancara dengan Ichlasul Amal soal awal mula pendirian Masjid Shalahuddin, atau lebih dikenal dengan Masjid Kampus (Maskam) UGM.
Amal merupakan penggagas berdirinya Maskam UGM. Sempat ada inisiatif dari beberapa pihak agar nama Ichlasul Amal dijadikan nama masjid tersebut. Amal pun menolak inisiatif tersebut.
“Beliau menceritakan secara rendah hati untuk menolak inisiatif sebagian orang untuk melekatkan nama Rektor Ichlasul Amal sebagai nama untuk masjid yang peletakan batu pertamanya berbarengan dengan pidato Suharto untuk berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998,” ujar Qusthan, Kamis (14/11/2024).
Begawan yang Merdeka
Amal juga dikenal sebagai seorang akademisi yang kritis dan merdeka. Dia kerap bersuara lantana menentang kebijakan-kebijakan Orde Baru.
Bahkan, Amal adalah sosok yang menginspirasi para mahasiswa untuk melakukan Gerakan 1998, Gerakan massif menuntut lengsernya Suharto dan berakhirnya Orde Baru.
Saat demonstrasi besar yang berlangsung di depan Ghra Sabha Pramana UGM, Amal tampil menyuarakan kritik. Di hadapan para mahasiswa, Amal bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X menyampaikan orasi terkait kondisi negeri. Orasi yang menyulut semangat para mahasiswa kala itu.
Pun sebagai pengamat, Amal tak pernah takut bersuara. Kritik-kritiknya tajam, terlontar tanpa tendensi apapun. Pun di usia senjanya, kekritisan Amal tak luntur. Dia telah mengabdikan diri sepenuhnya pada kejujuran dan keluhuran.
Selamat jalan, Sang Begawan!
Link informasi : Sumber